Perlambatan perekonomian global akibat krisis ekonomi di Amerika Serikat berdampak pula pada gejolak perekonomian lokal.
Perusahaan-perusahaan yang memiliki orientasi ekspor ke pasar Amerika maupun Eropa mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena turunnya order dari luar negeri yang berdampak pada kondisi keuangan perusahaan. Seperti yang diberitakan SOLOPOS (14/11), PT Adetex melakukan PHK terhadap 813 orang, PT Kasega Dadit merumahkan 210 orang, PT Safaritex merumahkan ratusan karyawan dan ancaman PHK diperkirakan semakin meluas.
Pengalaman krisis ekonomi tahun 1997 perlu dijadikan pelajaran berharga bagi para pelaku ekonomi di era krisis ekonomi global saat ini dapat diantisipasi dengan cerdas sehingga keterpurukan masa lalu tidak terulang kembali serta dapat mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang secara makro sudah baik dan menuju ke arah yang benar.
Selain memakai formulasi pendekatan makroekonomi untuk mengatasi krisis seperti menekan laju inflasi, mempertahankan nilai tukar rupiah dan suku bunga SBI, mempertahankan daya beli masyarakat, mengurangi adanya capital outflow (modal keluar) dan sebagainya perlu adanya upaya lebih memperhatikan sektor riil yang terbukti tahan banting menghadapi krisis ekonomi. Salah satunya adalah mengembangkan industri kreatif.
UK DCMS Task Force 1998 menyebut industri kreatif sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Industri kreatif dapat dikelompokkan menjadi 14 kategori yaitu periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, desain fesyen, video, film dan fotografi. Selain itu juga permainan interaktif, musik, seni pertunjukkan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan peranti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan.
Menurut Menteri Perdagangan, Marie Pangestu, dalam acara Solo Batik Carnival (SBC) (kompas.com 13/4), secara nasional, industri kreatif mampu memberikan kontribusi produk domestik bruto (PDB) Indonesia rata-rata senilai Rp 104,638 triliun pada 2002-2006 dan menyerap rata-rata per tahun sebanyak 5,4 juta pekerja dengan produktivitas mencapai Rp 19,5 juta per pekerja tiap tahunnya. Produktivitas pekerja ini lebih tinggi dari produktivitas nasional yang Rp 18 juta per pekerja per tahun. Pada tahun 2006, industri kreatif telah melakukan ekspor senilai Rp 81,5 triliun atau sebesar 9,13 persen dari total ekspor nasional.
Data-data tersebut jelas menunjukkan prospek yang dimiliki industri kreatif dalam perekonomian nasional. Sektor kreatif akan memberikan harapan baru untuk kegiatan ekonomi (baca: peluang usaha baru) yang mengandalkan kreativitas dan bakat individu guna menciptakan nilai tambah berupa produk atau jasa kreatif.
Jika dikembangkan dan dikelola dengan baik, industri ini mampu menjadi penyumbang devisa negara apabila diekspor keluar negeri. Sebagai contoh devisa ratusan juta dolar Amerika telah disumbangkan Microsoft untuk penjualan software OS Windows dan Office. Lebih unik lagi, film Quantum of Solace (James Bond) yang dibintangi Daniel Craig mampu meraup pendapatan di atas US$322 juta dalam waktu singkat untuk peredaran filmnya di seluruh dunia (SOLOPOS, 18/11). Apabila dibandingkan dengan ekspor batubara Indonesia, dibutuhkan jutaan ton (barel oil equivalen) batubara untuk mencapai menyamai pendapatan satu film box office seperti Quantum of Solace. Fenomena ini memberikan satu pesan bahwa industri kreatif yang memiliki nilai tambah yang tinggi akan mampu mengalahkan industri yang berbasiskan sumber daya alam.
Potensi Solo
Berdasarkan penelitian penulis, dari hasil analisis location quetient (LQ) dan shift share sektor perekonomian yang dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan dan memiliki nilai kompetitif (competitiveness) yang tinggi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sementara sektor primer (pertanian, pertambangan dan penggalian) bukan merupakan sektor unggulan dan nilainya cenderung menurun. Industri pengolahan walaupun merupakan penyumbang PDRB terbesar di Kota Solo, namun nilainya terus mengalami penurunan.
Melihat Kota Solo tidak memiliki potensi sumber daya alam yang dapat diandalkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, sudah saatnya mengalihkan perhatian untuk mengembangkan industri kreatif guna mendorong peningkatan perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Kota Solo sebagai wilayah perkotaan dan memiliki endownment advantage (keuntungan alamiah) berupa tradisi budaya, hasil kerajinan berbasiskan kultural, hinterland kawasan Subosukawonosraten, jalur perlintasan Jakarta-Surabaya, merupakan potensi besar untuk pengembangan industri kreatif.
Sebagai wilayah perkotaan, Solo memiliki fasilitas infrastruktur yang bagus, masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan memadai, arus informasi dapat diakses dengan cepat dan mudah baik lewat media elektronik, cetak maupun Internet, banyak sekolah tinggi/universitas yang dapat memompa kreativitas masyarakat untuk menghasilkan barang/jasa yang baru dan memiliki nilai tambah yang tinggi.
Guna lebih memasifkan kreativitas masyarakat, Pemerintah Kota Solo perlu memberikan ruang yang cukup untuk berkembangnya ide-ide kreatif masyarakat yang dieksplorasi dari potensi yang ada di Solo bahkan ide yang di luar kebiasaan (out of the box) perlu digali sehingga ada temuan baru yang genuine (asli) produk Wong Solo serta dapat dijual baik ke pasar lokal, nasional bahkan internasional. Solo Techno Park (saat ini masih dalam pembangunan) ke depan bisa menjadi pusat pengembangan teknologi yang mampu menghasilkan teknologi kreatif yang diakui kompetensinya di dunia internasional.
Tidak kalah penting dari semua itu adalah mematenkan produk kreatif yang dihasilkan guna menghindari adanya pembajakan atau klaim terhadap produk oleh pihak lain seperti kasus batik yang dipatenkan Malaysia. Dengan dipatenkan, akan semakin membuat hasil produk industri kreatif yang bernilai ekonomi tinggi.
Komitmen Pemkot Solo untuk menjadikan Solo sebagai Kota MICE (meeting, incentive, convention, exhibition) akan bersinergi dengan pembangunan ekonomi kreatif. Program MICE seharusnya diikuti dengan pertumbuhan industri kreatif sehingga multiplier effect dan spillover effect dari MICE dapat ditangkap dengan produk barang/jasa industri kreatif sehingga secara nyata perekonomian dapat bertumbuh dan pada akhirnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Solo meningkat.
oleh muhammad muflihun , artikel ini dimuat diharian solopos 22 nopember 2008
Perusahaan-perusahaan yang memiliki orientasi ekspor ke pasar Amerika maupun Eropa mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena turunnya order dari luar negeri yang berdampak pada kondisi keuangan perusahaan. Seperti yang diberitakan SOLOPOS (14/11), PT Adetex melakukan PHK terhadap 813 orang, PT Kasega Dadit merumahkan 210 orang, PT Safaritex merumahkan ratusan karyawan dan ancaman PHK diperkirakan semakin meluas.
Pengalaman krisis ekonomi tahun 1997 perlu dijadikan pelajaran berharga bagi para pelaku ekonomi di era krisis ekonomi global saat ini dapat diantisipasi dengan cerdas sehingga keterpurukan masa lalu tidak terulang kembali serta dapat mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang secara makro sudah baik dan menuju ke arah yang benar.
Selain memakai formulasi pendekatan makroekonomi untuk mengatasi krisis seperti menekan laju inflasi, mempertahankan nilai tukar rupiah dan suku bunga SBI, mempertahankan daya beli masyarakat, mengurangi adanya capital outflow (modal keluar) dan sebagainya perlu adanya upaya lebih memperhatikan sektor riil yang terbukti tahan banting menghadapi krisis ekonomi. Salah satunya adalah mengembangkan industri kreatif.
UK DCMS Task Force 1998 menyebut industri kreatif sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Industri kreatif dapat dikelompokkan menjadi 14 kategori yaitu periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, desain fesyen, video, film dan fotografi. Selain itu juga permainan interaktif, musik, seni pertunjukkan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan peranti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan.
Menurut Menteri Perdagangan, Marie Pangestu, dalam acara Solo Batik Carnival (SBC) (kompas.com 13/4), secara nasional, industri kreatif mampu memberikan kontribusi produk domestik bruto (PDB) Indonesia rata-rata senilai Rp 104,638 triliun pada 2002-2006 dan menyerap rata-rata per tahun sebanyak 5,4 juta pekerja dengan produktivitas mencapai Rp 19,5 juta per pekerja tiap tahunnya. Produktivitas pekerja ini lebih tinggi dari produktivitas nasional yang Rp 18 juta per pekerja per tahun. Pada tahun 2006, industri kreatif telah melakukan ekspor senilai Rp 81,5 triliun atau sebesar 9,13 persen dari total ekspor nasional.
Data-data tersebut jelas menunjukkan prospek yang dimiliki industri kreatif dalam perekonomian nasional. Sektor kreatif akan memberikan harapan baru untuk kegiatan ekonomi (baca: peluang usaha baru) yang mengandalkan kreativitas dan bakat individu guna menciptakan nilai tambah berupa produk atau jasa kreatif.
Jika dikembangkan dan dikelola dengan baik, industri ini mampu menjadi penyumbang devisa negara apabila diekspor keluar negeri. Sebagai contoh devisa ratusan juta dolar Amerika telah disumbangkan Microsoft untuk penjualan software OS Windows dan Office. Lebih unik lagi, film Quantum of Solace (James Bond) yang dibintangi Daniel Craig mampu meraup pendapatan di atas US$322 juta dalam waktu singkat untuk peredaran filmnya di seluruh dunia (SOLOPOS, 18/11). Apabila dibandingkan dengan ekspor batubara Indonesia, dibutuhkan jutaan ton (barel oil equivalen) batubara untuk mencapai menyamai pendapatan satu film box office seperti Quantum of Solace. Fenomena ini memberikan satu pesan bahwa industri kreatif yang memiliki nilai tambah yang tinggi akan mampu mengalahkan industri yang berbasiskan sumber daya alam.
Potensi Solo
Berdasarkan penelitian penulis, dari hasil analisis location quetient (LQ) dan shift share sektor perekonomian yang dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan dan memiliki nilai kompetitif (competitiveness) yang tinggi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sementara sektor primer (pertanian, pertambangan dan penggalian) bukan merupakan sektor unggulan dan nilainya cenderung menurun. Industri pengolahan walaupun merupakan penyumbang PDRB terbesar di Kota Solo, namun nilainya terus mengalami penurunan.
Melihat Kota Solo tidak memiliki potensi sumber daya alam yang dapat diandalkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, sudah saatnya mengalihkan perhatian untuk mengembangkan industri kreatif guna mendorong peningkatan perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Kota Solo sebagai wilayah perkotaan dan memiliki endownment advantage (keuntungan alamiah) berupa tradisi budaya, hasil kerajinan berbasiskan kultural, hinterland kawasan Subosukawonosraten, jalur perlintasan Jakarta-Surabaya, merupakan potensi besar untuk pengembangan industri kreatif.
Sebagai wilayah perkotaan, Solo memiliki fasilitas infrastruktur yang bagus, masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan memadai, arus informasi dapat diakses dengan cepat dan mudah baik lewat media elektronik, cetak maupun Internet, banyak sekolah tinggi/universitas yang dapat memompa kreativitas masyarakat untuk menghasilkan barang/jasa yang baru dan memiliki nilai tambah yang tinggi.
Guna lebih memasifkan kreativitas masyarakat, Pemerintah Kota Solo perlu memberikan ruang yang cukup untuk berkembangnya ide-ide kreatif masyarakat yang dieksplorasi dari potensi yang ada di Solo bahkan ide yang di luar kebiasaan (out of the box) perlu digali sehingga ada temuan baru yang genuine (asli) produk Wong Solo serta dapat dijual baik ke pasar lokal, nasional bahkan internasional. Solo Techno Park (saat ini masih dalam pembangunan) ke depan bisa menjadi pusat pengembangan teknologi yang mampu menghasilkan teknologi kreatif yang diakui kompetensinya di dunia internasional.
Tidak kalah penting dari semua itu adalah mematenkan produk kreatif yang dihasilkan guna menghindari adanya pembajakan atau klaim terhadap produk oleh pihak lain seperti kasus batik yang dipatenkan Malaysia. Dengan dipatenkan, akan semakin membuat hasil produk industri kreatif yang bernilai ekonomi tinggi.
Komitmen Pemkot Solo untuk menjadikan Solo sebagai Kota MICE (meeting, incentive, convention, exhibition) akan bersinergi dengan pembangunan ekonomi kreatif. Program MICE seharusnya diikuti dengan pertumbuhan industri kreatif sehingga multiplier effect dan spillover effect dari MICE dapat ditangkap dengan produk barang/jasa industri kreatif sehingga secara nyata perekonomian dapat bertumbuh dan pada akhirnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Solo meningkat.
oleh muhammad muflihun , artikel ini dimuat diharian solopos 22 nopember 2008
Komentar
Posting Komentar