Program penjaminan kredit bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi yang dicanangkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) patut mendapat apresiasi positif mengingat kebijakan ekonomi pemerintah saat ini mulai memperhatikan dan mendorong pertumbuhan sektor riil dan UMKM.
Skenario program ini, seperti yang dipaparkan Presiden SBY (SINDO, 6/11) pada tahun 2006 terdapat 48 juta unit UMKM dengan jumlah anggota keseluruhan mencapai 85 juta orang. Ditambah 140.000 koperasi dengan jumlah anggota sekitar 28 juta orang. Kalau tiap unit UMKM dan koperasi tersebut diberi kredit dan tumbuh makin baik, pendapatan orang per orang, pegawai dan anggota koperasi akan naik. Selain itu taraf hidup masyarakat akan meningkat sehingga pengangguran menjadi berkurang.
Program mulia ini hendaknya mendapat pengawalan yang ketat dari setiap komponen bangsa agar menuai keberhasilan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia serta dapat menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata sehingga kesejahteraan rakyat semakin baik.
Ibarat peribahasa ada gula ada semut, program penjaminan kredit bagi UMKM dan koperasi ini pasti akan mengundang banyak orang untuk “bermain”. Ada yang benar-benar dimanfaatkan guna mengembangkan usahanya, tapi tidak menutup kemungkinan untuk memperkaya diri, yang terakhir inilah perlu diwaspadai karena merupakan moral hazard (perilaku jahat) yang bisa mengakibatkan kegagalan program UMKM.
Penulis bukannya su’udzan (berprasangka buruk) dengan memunculkan wacana moral hazard dalam pelaksanaan penjaminan kredit bagi UMKM dan koperasi, namun sebagai langkah untuk mengantisipasi dan menyadarkan segala kemungkinan yang akan terjadi sehingga sejak awal dapat dilakukan pencegahan.
Praktik Moral Hazard
Pemberian informasi yang tidak seimbang (asymmetric information) dapat berakibat munculnya praktik moral hazard baik dilakukan oleh pihak bank, pelaku UMKM maupun pihak ketiga yang berupaya menjadi penyalur atau perantara pencairan kredit UMKM.
Pihak bank dalam pelaksanaannya masih mempersulit pemberian kredit kepada pengusaha UMKM karena alasan administrasi yang seharusnya tidak perlu ketakutan terjadi kredit macet, tetapi alokasi kredit cenderung diberikan kepada pengusaha besar yang notabene telah kuat di sektor permodalan dengan asumsi pengusaha besar tidak akan ngemplang pembayaran.
Pelaku usaha UMKM juga dapat melakukan tindakan moral hazard dengan jalan menggunakan uang kucuran kredit tidak untuk meningkatkan kapasitas produksi dan kualitas produk, menambah stok barang modal, memperbaiki sistem pemasaran, namun dipakai untuk belanja konsumsi seperti membeli mobil baru, motor baru, renovasi rumah, dan sebagainya seakan memperoleh rezeki nomplok dan menjadi orang kaya baru.
Munculnya pihak ketiga yang berperan sebagai penyalur atau perantara untuk melancarkan pencairan kredit dengan meminta sejumlah fee atau uang lelah berakibat jumlah uang kredit modal yang diterima berkurang. Hal ini dapat berdampak beban pengusaha bertambah karena sebagian uang yang seharusnya dapat dijadikan tambahan modal harus direlakan untuk diberikan kepada makelar kredit.
Munculnya praktik KKN dalam pemberian kredit UMKM, penyampaian informasi yang terbatas kepada pengusaha UMKM dan kesalahan dalam mendata UMKM berakibat kucuran kredit tidak merata dan menimbulkan kecemburuan sosial. Perlu diwaspadai pula, munculnya UMKM dan koperasi-koperasi fiktif yang bertujuan hanya untuk memperoleh dana kredit namun setelah itu menghilang di telan bumi.
Praktik-praktik jahat di atas apabila terjadi akan menghambat bahkan menggagalkan tujuan program penjaminan kredit bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi serta dana triliunan rupiah yang dikucurkan pemerintah akhirnya hanya menjadi sunk cost (biaya yang tidak bisa ditarik kembali) dan mubazir peruntukannya.
Pesan yang disampaikan Presiden SBY untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program ini perlu ditanggapi dengan serius dengan menciptakan sistem check and balance dalam pengawasan sehingga tidak terjadi penyimpangan di lapangan.
Belajar dari Kegagalan
Penerbit Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah yang memberikan keleluasaan kepada BUMN (baca: Bank BUMN) untuk dapat menyelesaikan piutang atau kredit bermasalah berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan/tatanan korporat perlu disikapi dengan hati-hati agar tidak menimbulkan sikap manja, hilangnya rasa tanggungjawab pengusaha UMKM dalam memenuhi kewajibannya, serta munculnya pemikiran stereotip bahwa setiap pinjaman tidak perlu dikembalikan karena akan diselesaikan oleh pemerintah.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan penelitian penyebab terjadinya kredit macet UMKM sehingga bisa belajar dari kegagalan yang ada dan segera merumuskan langkah antisipasi munculnya kredit macet lagi dalam program penjaminan kredit bagi UMKM dan koperasi.
Untuk menumbuhkan UMKM dan koperasi tidak sekedar memberikan modal usaha namun yang juga tidak kalah penting adalah pemerintah perlu membantu masalah peningkatan kualitas dan pemasaran produk serta manajemen usahanya. Di era rezim ekonomi “Mekanisme Pasar” saat ini akan sangat memberatkan bagi UMKM kecil apabila tidak memiliki produk yang berkualitas dan strategi pemasaran yang baik. UMKM akan terus tergerus dari arus persaingan usaha dan kalah dengan pemilik modal besar yang memiliki produk berkualitas, teknologi, jaringan usaha dan pemasaran yang lebih handal.
Semoga penjaminan kredit bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi dapat berjalan sesuai rencana serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tulisan ini dimuat di Harian Joglosemar tanggal 15-02-2008
Selamat dan sukses atas wisudanya ya..!
BalasHapusSmoga ilmunya bermanfaat untuk dunia dan akherat,amin.
Suprapto